Tugas Sosiologi Hukum
Larasati Nur Kholisa NIM. 17413241044
Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif. Hukum ini meliputi peraturan-peraturan hidup masyarakat yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, melainkan lahir dan tumbuh di masyarakat itu sendiri. Hukum adat dpakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis, hukum yang hidup sebagai konvensi pada badan-badan hukum negara, hukum yang timbul karena putusan-putusan hakim (judge made law), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kotamaupun di desa (costumary law) (Adhe: https://www.academia.edu/28671948/HUKUM_ADAT).
Dr. Sukanto dalam dalam buku yang berjudul,“ meninjau Hukum Adat Indonesia” menyatakan bahwa hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunya akibat hukum. Sementara itu menurut Mr. J.H.P Bellefroid, hukum adat sebagai peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh para penguasa dan diormati dan ditaati oleh rakyatnya dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. Mr. B. Terhaar Bzn mengatakan, (1) hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyaraat hukum, terutama keputusan dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; dan (2) hukum adat itu adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh yang dalam pelaksanaanya berlaku serta-merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Dengan demikian Hukum Adat yang diketahui hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum.
Hukum adat di Indonesia adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis. (Bibit: https://www.academia.edu/9468017/SEJARAH_HUKUM_ADAT_DI_INDONESIA).
Pertama kalinya hukum adat mendapat sorotan sebagai masalah hukum oleh pemerintah Belanda adalah pada saat pengangkatan Mr. G.C. Hageman sebagai ketua “Hoog Gerechtshof Hindia-Belanda” pada tanggal 30 Juli 1830. Hageman membayangkan adanya persatuan buku hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan bangsa Eropa. Angan-angan Hageman tinggal angan-angan saja, sebab tempo yang diberikan kepadanya talah berakhir.
Untuk mempersiapkan tercapainya maksud menyesuaikan hukum yang berlaku di Indonesia dengan hukum baru di negeri Belanda, maka dibentuk suatu panitia yang diketuai C.J. Scholten. Panitia itu dibubarkan setahun kemudian karena Scholten sakit dan pulang ke negeri Belanda. Tetapi pada tahun 1839 Scholten ditunjuk lagi untuk mengetuai sebuah panitia yang bertugas untuk mengadakan rencana agar hukum-hukum negeri Belanda yang baru dapat diberlakukan di Indonesia. Scholten berpendapat bahwa bangsa Indonesia terhindar dari berlakunya asas persamaan hukum yang termaktub di dalam perintah pemerintah Belanda.
Hasil pekerjaan Scholten diperkuat dengan seorang ahli yaitu J. van der Vinnie. Ia beranggapan, bahwa hukum Belanda akan janggal bagi suatu negeri yang mempunyai penduduk berjuta-juta manusia yang bukan beragama Nasrani, sedangkan penduduk yang beragama Islam amat besar kesetiannya pada sendi-sendi agamanya seta undang-undang dan adat kebiasaan mereka yang tertulis, sehingga diberlakukannya hukum Belanda berarti suatu pelanggaran atas hak-hak, adat istiadat dari pada golongan penduduk yang bukan bangsa Eropa, serta suatu pemecahan dari beberapa banyak bangunan-bangunan hukum, undang-undang serta adat-adat yang berlainan satu dengan yang lain.
Suasana di sekitar tahun 1848 adalah sangat dikuasai oleh pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi. Suasana inilah yang mendorong atau merupakan sebab utama adanya permulaan untuk menggantikan hukum adat. Maka secara ringkas undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat dan seterusnya di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
Usaha ke-1: Mr. Wichers, rencana kodifikasi Wichers gagal, karena hukum Barat tidak cocok bagi apa yang olehnya dinamakan perhubungan-perhubungan hukum sederhana bangsa Indonesia.
Usaha ke-2: Van der Putte, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraria penguasa Belanda. Usaha ini pun gagal, karena Parlemen Belanda menuntut lebih dahulu diadakan penyelidikan lokal mengenai hak-hak penduduk terhadap tanah.
Usaha ke-3: Cremer, menghendaki diadakan kodifikasi lokal untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah-daerah di mana penduduknya telah memeluk agama Kristen. Kehendak Cremer ini belum lagi sempat diselenggarakan sudah disusul oleh usaha berikutnya.
Usaha ke-4: Kabinet Kuyper mengusulkan suatu rencana untuk mengantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima amandemen Van Idsinga yang hanya mengizinkan penggantian hukum adat dengan hukum Barat, jika kebutuhan-kebutuhan sosial rakyat menghendakinya.
Usaha ke-5: Pada tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Rencana ini tetap tinggal rencana yang tidak pernah dimajukan kepada Parlemen Belanda.
Usaha ke-6: Mr. Cowan membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalm tahun 1923. Gagal lagi, karena kritik Van Vollenhoven dalam karangannya “Juridisch Confeetiewerk”.
Sebab kegagalan semua usaha tersebut di atas adalah, karena bahwasanya tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan bagian terbesar dari penduduk, harus tunduk pada hukum yang sebagian besar disesuaikan pada kebutuhan bangsa Eropa. Bangsa Indonesia tidak bisa dimasukkan dalam golongan Eropa di dalam lapangan hukum privat. Dan dalam tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda mengubah haluannya, Ia menolak penyatuan hukum (unifikasi).
Konsepsi Van Vollenhoven yang isinya menganjurkan diadakan pencatatan-pencatatan yang sistematis dari pengertian-pengertian hukum yang sesungguhnya dari penduduk, tetapi didahului dengan penelitian dan penyelidikan yang dipimpin oleh para ahli. Tujuan ini adalah untuk memajukan ketentuan hukum dan untuk membantu hakim yang harus mengadili hukum adat. Akhirnya pada tahun 1927 konsepsi Van Vollenhoven ini diterima. Dan politik pemerintah kolonial Belanda kembali secara teratur kearah dualisme.
Mr. B. Ter Haar, murid Van Vollenhoven, berusah supaya hukum adat dipertahankan dan dilaksanakan sebagai hal yang sangat sesuai bagi kebutuhan masyarakat bangsa Indonesia dalam kedudukannya sekarang.
Politik hukum adat semenjak tahun 1927 setelah konsepsi Vollenhoven diterima, menghendaki juga re-organisasi sistem pengadilan. Terutama sekali Ter haar yang mengadakan re-organisasi pengadilan, yang melaksanakan pengadilan desa dan akhirnya pengadilan negeri, kesemuanya itu untuk memperbaiki pengadilan Mahkamah-Mahkamah yang harus melakukan hukum adat. Jadi, yang terjadi hingga sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda kepada Balatentara Jepang adalah kodifikasi dan bukan unifikasi.
Sebelum Undang-Undang No. 19 tahun 1964 L.N. No.107 tahun 1964, yakni Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, maka yang menjadi dasar Hukum Adat adalah masih Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945.
Pada zaman Belanda sumber pengetahuan tentang hal ini adalah pasal 131 Indische Staatsregeling (disingkat IS), yang menggambarkan adanya sistem hukum yang dualistis dan pluralistis. Kini, di Indonesia berlaku bersama-sama hukum adat dan hukum Eropa. Selain pasal 131 IS tersebut, masih terdapat dua pasal dari IS yang masih memungkinkan berlakunya hukum adat, yaitu pasal 21 IS ayat 2 dan pasal 130 IS.
Jauh sebelum Undang-Undang No.19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman diundangkan, sesungguhnya secara konstitusional telah dapat diketemukan pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat, yaitu pasal 146 ayat (1) Konstitusi RIS dan pasal 104 ayat (1) Undang Undang Dasar Sementar 1950.
Dalam alinea dari penjelasan umum Undang-Undang No. 19 tahun 1964, dengan dihubungkan dengan pasal 17 ayat 2 dan pasal 3 dari Undang-Undang tersebut diketemukan dasar/alasan berlakunya Hukum Adat yang disebut hukum tidak tertulis. Dan dengan diundangkannya Undang-Undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman ini, maka gugurlah perundang-undangan kolonia/pasal 131 IS (6)/sebagai dasar hukum berlakunya Hukum Adat.
Karena ketentuan dalam pasal 19 UU No. 19 tahun 1964 isinya bertentangan dengan jiwa Undang Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 17 Desember 1970 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang isi umumnya hampir sama. Pasal-pasal yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat adalah Pasal 23(1) dan pasal 27 (1).
Dengan demikian, bahwa sekarang yang menjadi dasar perundang-undangan berlakunya Hukum Adat sebagi hukum yang tidak tertulis adalah: Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 dan pasal 23 ayat (1). Untuk Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14 tahun 1970.
Hukum adat yang tradisional ini menunjukkan juga adanya nilai-nilai yang universal seperti:
a. Asas gotong royong.
b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat.
c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum.
d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Referensi:
Gunung Agung dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1976. Pengantar dan Asas – asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1976.
Joko, Bibit SEJARAH HUKUM ADAT DI INDONESIA. Online: https://www.academia.edu/9468017/SEJARAH_HUKUM_ADAT_DI_INDONE SIA
Hadikusuma, hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Putri, Aina. Resume Buku "Asas-Asas Hukum Adat" Karangan Soerojo Wignjodipoero. Online: https://www.academia.edu/33121055/Resume_Buku_Asas-Asas_Hukum_Adat_ Karangan_Soerojo_Wignjodipoero. Di akses pada 27 Mei 2019.
Septyani. Adhi. Hukum Adat. Online: https://www.academia.edu/28671948/HUKUM_ADAT. Di akses pada 27 Mei 2019.
Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT toko Gunung Agung.
Komentar
Posting Komentar